Jumat, 27 Februari 2015

Reklamasi Tanah Singapura Mengancam Tanah Nusantara



Pada kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir tanggal 16 Februari 2015 dosen kami bapak I Made Andi Arsana telah menjelaskan bagaimana Indonesia mempunyai andil besar dalam penentuan batas maritime bagi negara-negara di bumi ini. Singkat cerita tahun 1945 presiden Amerika Serika saat itu Harry S. Truman secara mengejutkan menyatakan bahwa batas kawasan laut di sekitar Amerika hingga jarak 200 mil laut. Hal ini mengejutkan karena belum ada satu negarapun yang melakukan hal yang sama sebelumnya. Tindakan Amerika Serikat tersebut kemudian diikuti oleh Negara-negara lain dengan menyatakan batas kawasan laut mereka sesuai pendapat mereka sendiri. Indonesia sendiri mengikuti aturan mantan Negara penjajahnya yaitu Belanda dengan menyatakan batas kawasan laut sejauh 3 mil diukur dari garis pantai masing-masing pulau.

Gambar batas kawasan laut sejauh 3 mil

Pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja menyatakan bahwa klaim 3 mil ini tidak menguntungkan Indonesia sebagai Negara kepulauan yang dimana apabila Indonesia mengikuti aturan tersebut maka Indonesia memiliki laut bebas/internasional di dalam negara. Oleh karena itu Indonesia mengklaim bahwa semua kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia menjadi perairan Indonesia dan merupakan bagian kedaulatan Indonesia. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1.        Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2.        Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3.        Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
1.        Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
2.        Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
3.        Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan

Pertanyaannya sekarang adalah setelah para pejuang kita dengan begitu gigih membela kedaulatan wilayah laut Indonesia bagaimana kita menjaga hasil berjuangan para pejuang terdahulu? Kita lihat bagaimana kondisi ekspor pasir yang terjadi di perbatasan antara Indonesia dengan Singapura. Singapura memiliki banyak proyek reklamasi tanah dengan tanah diperoleh dari bukit, dasar laut, dan negara tetangga dan terbanyak dari Indonesia. Hasilnya, daratan Singapura meluas dari + 581,5 km2 (224.5 mil²) pada 1960-an menjadi + 704 km2 (271.8 mil²), dan akan meluas lagi hingga 100 km2 (38.6 mil²) pada 2030. Proyek ini seringkali menyebabkan beberapa pulau kecil di Singapura digabungkan melalui reklamasi tanah untuk membentuk pulau-pulau besar dan berguna secara ekonomi (dan militer). Sengaja atau tidak pertambahan luas Singapura itu diam-diam mendekati Indonesia

 Peta renacana reklamasi tanah di Singapura


Pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau sampai hilang. Sebut saja Pulau Nipah yang sekarang tinggal nama.Singapura membeli dengan harga sangat rendah untuk materi yang sangat berharga tersebut. Awalnya, tak lebih dari 3 dollar Singapura per kubik atau sekitar Rp 15.000. Tentu harga ini tak sebanding dengan harga pasir di dalam negeri jauh lebih maha Hasil Reklamasi wilayah barat membuat Singapura menjorok sekitar 12 kilometer ke tengah laut. Jika menggunakan Pasal 11 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), maka Singapura akan bisa mengklaim pelebaran batas teritorialnya dari titik reklamasi terluar tersebut. Pasal ini menyebutkan, “Untuk penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan terluar merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pantai.”
Lalu apa langkah pemerintah untuk menghadapi hal seperti ini. Akankah kita biarkan sampai kepulauan riau hilang secara perlahan dan menjadi wilayah daratan Singapura? Semoga perjuangan Djuanda Kartawidjaja dulu tidak berakhir disini'


Referensi:
Memagari Laut Nusantara: Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI oleh I Made Andi Arsana, PhD
 


Kamis, 19 Februari 2015

Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil



Ada beberapa perubahan isi pasal pada UU No 27 Tahun 2007 mengenai PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL di Indonesia menjadi UU No 1 Tahun 2014 dikarenakan belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal – pasal yang mengalami perubahan adalah pasal 1, 14, 16-23, 30, 50, 51, 60, 63, 71, dan 75. Selain itu ada juga tambahan pasal yaitu penyisipan pasal 22A, 22B, 22C, 26A, 75A, 78A dan 78B. Sedangkan pasal yang tidak mengalami perubahan tetap mengacu pada UU sebelumnya. Jadi untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini mengacu pada dua UU.

Perubahan pada pasal 1 mengacu pada ketentuan-ketentuan umum dalam pengelolaan wilayah pesisir seperti halnya dalam menentukan Rencana Zonasi Rinci diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga harus ada kerjasama yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Isi ayat 18 dirubah dengan menghilangkan HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) yang digantikan dengan Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan.

Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil (Pasal 1 Ayat 18). Terdapat 3 Persyaratan Izin Lokasi yang dapat diambil dalam Pasal 17 yaitu:
a.         didasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 17 Ayat 1)
b.        mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 17 Ayat 2)
c.         tidak berada pada kawasan zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum (Pasal 17 Ayat 4)

Pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a.         produksi garam
b.        biofarmakologi laut;
c.         bioteknologi laut;
d.        pemanfaatan air laut selain energi;
e.         wisata bahari;
f.         pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g.        pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan
Pada kegiatan-kegiatan diatas masyarakat pesisir wajib memiliki Izin Pengelolaan. Penambak garam yang selama ini melakukan produksi garam diwajibkan memiliki Izin Pengelolaan. Selain itu kegiatan lain dalam pemanfaatan sumber daya pesisir diatur dalam Peraturan Pemerintah dalam mendapatkan izin pengelolaan

Sementara pada pasal 17 disebutkan yang dimaksud dengan nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal tanpa mesin, dilakukan secara turun temurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedudukan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir adalah sebagai Pemangku Kepentingan Utama (Pasal 1 Ayat 30). Hal ini memiliki, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir disejajarkan dengan bagian lain, seperti nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata dan pengusaha perikanan. Hal ini akan terjadi ketimpangan yang malah akan semakin merugikan nelayan tradisional karena akan kalah saing dengan nelayan modern. Selain itu juga nantinya akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat antara nelayan tradisional dan modern. Kondisi ini akan merusak aspek ekonomi bagi masyarakat pesisir. Sementara untuk hak dan kewajiban yang dapat dilakukan masyarakat tertuang dalam pasal 60

Terdapat sisipan pasal antara pasal 26 dan 27 yaitu pasal 26A yang mengatur tentang penanaman modal asing pada wilayah pesisir. Penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri dan harus mengutamakan kepentingan nasional. Persyaratan izin penanaman modal asing seperti tertuang dalam pasal 26A Ayat 4 adalah:
a.         badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b.        menjamin akses publik;
c.         tidak berpenduduk;
d.        belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e.         bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f.         melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g.        melakukan alih teknologi; dan
h.        memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Akses public yang dimaksudkan dalam syarat tersebut adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain:
a.         akses Masyarakat memanfaatkan sempadan pantai dalam menghadapi Bencana Pesisir;
b.        akses Masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;
c.         akses nelayan dan pembudi daya ikan dalam kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;
d.        akses pelayaran rakyat; dan
e.         akses Masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.
Syarat lain adalah melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia. Peserta Indonesia, antara lain, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta badan usaha swasta nasional
Syarat terakhir adalah memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan. Aspek ekologi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelestarian lingkungan/ekosistem di pulau-pulau kecil. Aspek sosial adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan (sistem sosial budaya) Masyarakat di pulau-pulau kecil. Aspek ekonomi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelayakan bisnis/investasi dan tingkat kesejahteraan Masyarakat di pulau-pulau kecil.

Secara keseluruhan perubahan UU ini tidak melakukan perubahan struktur penguasaan pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. UU ini masih menetapkan persaingan antara nelayan tradisional dan modern dalam memanfaatkan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan sekitarnya yang menyebabkan nelayan tradisional semakin terdiskriminasi. Selain itu, izin (lokasi dan pengelolaan) tetap diwajibkan untuk dimiliki oleh nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal dan mengelola sumber daya laut secara turun-temurun.


File PDF UU yang bersangkutan: