Ada
beberapa perubahan isi pasal pada UU No 27 Tahun 2007 mengenai PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL di Indonesia menjadi UU No 1 Tahun 2014
dikarenakan belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara
memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal – pasal yang
mengalami perubahan adalah pasal 1, 14, 16-23, 30, 50, 51, 60, 63, 71, dan 75. Selain
itu ada juga tambahan pasal yaitu penyisipan pasal 22A, 22B, 22C, 26A, 75A, 78A
dan 78B. Sedangkan pasal yang tidak mengalami perubahan tetap mengacu pada UU
sebelumnya. Jadi untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini
mengacu pada dua UU.
Perubahan
pada pasal 1 mengacu pada ketentuan-ketentuan umum dalam pengelolaan wilayah
pesisir seperti halnya dalam menentukan Rencana Zonasi Rinci diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga harus ada kerjasama yang baik
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Isi ayat 18 dirubah dengan menghilangkan
HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) yang digantikan dengan Izin Lokasi dan
Izin Pengelolaan.
Izin Lokasi adalah izin yang
diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil (Pasal
1 Ayat 18). Terdapat 3 Persyaratan Izin Lokasi yang dapat diambil dalam Pasal
17 yaitu:
a.
didasarkan rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 17 Ayat 1)
b.
mempertimbangkan kelestarian
Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional,
kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 17 Ayat 2)
c.
tidak berada pada kawasan zona inti
di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum (Pasal 17 Ayat
4)
Pemanfaatan
sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a.
produksi garam
b.
biofarmakologi laut;
c.
bioteknologi laut;
d.
pemanfaatan air laut selain energi;
e.
wisata bahari;
f.
pemasangan pipa dan kabel bawah laut;
dan/atau
g.
pengangkatan benda muatan kapal tenggelam,
wajib memiliki Izin Pengelolaan
Pada
kegiatan-kegiatan diatas masyarakat pesisir wajib memiliki Izin Pengelolaan. Penambak
garam yang selama ini melakukan produksi garam diwajibkan memiliki Izin
Pengelolaan. Selain itu kegiatan lain dalam pemanfaatan sumber daya pesisir
diatur dalam Peraturan Pemerintah dalam mendapatkan izin pengelolaan
Sementara
pada pasal 17 disebutkan yang dimaksud dengan nelayan tradisional adalah
nelayan yang menggunakan kapal tanpa mesin, dilakukan secara turun temurun,
memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kedudukan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir adalah
sebagai Pemangku Kepentingan Utama (Pasal 1 Ayat 30). Hal ini memiliki, nelayan
tradisional dan masyarakat pesisir disejajarkan dengan bagian lain, seperti
nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata dan pengusaha perikanan.
Hal ini akan terjadi ketimpangan yang malah akan semakin merugikan nelayan
tradisional karena akan kalah saing dengan nelayan modern. Selain itu juga
nantinya akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat antara nelayan
tradisional dan modern. Kondisi ini akan merusak aspek ekonomi bagi masyarakat
pesisir. Sementara untuk hak dan kewajiban yang dapat dilakukan masyarakat
tertuang dalam pasal 60
Terdapat
sisipan pasal antara pasal 26 dan 27 yaitu pasal 26A yang mengatur tentang
penanaman modal asing pada wilayah pesisir. Penanaman modal asing harus
mendapat izin Menteri dan harus mengutamakan kepentingan nasional. Persyaratan izin
penanaman modal asing seperti tertuang dalam pasal 26A Ayat 4 adalah:
a.
badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas;
b.
menjamin akses publik;
c.
tidak berpenduduk;
d.
belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat
Lokal;
e.
bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f.
melakukan pengalihan saham secara bertahap
kepada peserta Indonesia;
g.
melakukan alih teknologi; dan
h.
memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan
ekonomi pada luasan lahan.
Akses
public yang dimaksudkan dalam syarat tersebut adalah jalan masuk yang berupa
kemudahan, antara lain:
a.
akses Masyarakat memanfaatkan sempadan
pantai dalam menghadapi Bencana Pesisir;
b.
akses Masyarakat menuju pantai dalam
menikmati keindahan alam;
c.
akses nelayan dan pembudi daya ikan dalam
kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;
d.
akses pelayaran rakyat; dan
e.
akses Masyarakat untuk kegiatan keagamaan
dan adat di pantai.
Syarat
lain adalah melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia.
Peserta Indonesia, antara lain, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta badan usaha swasta
nasional
Syarat
terakhir adalah memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan
lahan. Aspek ekologi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelestarian
lingkungan/ekosistem di pulau-pulau kecil. Aspek sosial adalah aspek-aspek yang
mempengaruhi kehidupan (sistem sosial budaya) Masyarakat di pulau-pulau kecil. Aspek
ekonomi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelayakan bisnis/investasi dan
tingkat kesejahteraan Masyarakat di pulau-pulau kecil.
Secara
keseluruhan perubahan UU ini tidak melakukan perubahan struktur penguasaan
pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. UU ini masih menetapkan
persaingan antara nelayan tradisional dan modern dalam memanfaatkan ruang
pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perairan sekitarnya yang menyebabkan
nelayan tradisional semakin terdiskriminasi. Selain itu, izin (lokasi dan
pengelolaan) tetap diwajibkan untuk dimiliki oleh nelayan tradisional dan
masyarakat pesisir yang telah tinggal dan mengelola sumber daya laut secara
turun-temurun.
File PDF UU yang bersangkutan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar