Minggu, 31 Mei 2015

Inventarisasi dan Pemantauan Mangrove dengan Penginderaan Jauh



Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai pulau kurang lebih 17.508 dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km. Sehingga dapat dikatakan bahwa daerah laut dan pesisirnya mempunyai potensi yang cukup besar. Salah satu potensi yang ada di pesisir Indonesia adalah mangrove. Inventarisasi luas hutan mangrove sangat diperlukan untuk dilakukan sebagai kawasan pelestarian alam, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, rekreasi dan menunjang budidaya
Didasarkan pada manfaat hutan mangrove, diperlukan adanya perhatian khusus bagi komunitas hutan mangrove ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi yang ada dan sekarang sudah banyak digunakan yaitu teknologi penginderaan jauh dengan satelit. Informasi yang didapat bisa kita kaji tutupan lahan hutan mangrove di suatu kawasan pesisir. Pernginderaan jauh tidak lepas dari Sistem Informasi Geografis (SIG).
Penginderaan jauh adalah pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh. Penginderaan jauh telah mampu mengklasifikasikan hutan mangrove dengan baik karena vegetasi mangrove memiliki karakter yang khas terhadap gelombang elektromagnetik. Pemanfaatan data penginderaan jauh telah banyak digunakan untuk kegiatan operasional seperti kegiatan Inventarisasi Hutan
Pemetaan mangrove menggunakan indeks vegetasi NDVI untuk membedakan kerapatan mangrove dimana NDVI lebih cenderung berhubungan dengan kerapatan kanopi daripada kerapatan tegakan. Kerapatan mangrove dari indeks vegetasi NDVI ini telah digunakan untuk menilai kerusakan mangrove dimana nilai indeks yang rendah dikategorikan dalam kategori mangrove yang telah rusak. Indeks vegetasi sebenarnya masih bersifat umum, tidak khas terhadap vegetasi mangrove, apalagi jika dibedakan vegetasi mangrove sejati (major mangrove) dengan vegetasi mangrove ikutan (minor mangrove). Sehingga penggunaan indeks ini tidak sesuai kenyataan di lapangan karena nilai NDVI rumput bisa jadi lebih tinggi dari hutan dengan tutupan kanopi yang tidak serapat vegetasi rumput.
Mangrove dapat dikenali dengan baik secara visual pada komposit RGB 564 pada citra Landsat 8, sehingga indeks diturunkan dari 2 kanal yang membedakan vegetasi mangrove yaitu kanal 6 dan 5, dimana perbedaan nilai antara dua kanal tersebut tinggi pada obyek dengan vegetasi mangrove dan rendah pada vegetasi non mangrove. Hal ini dikarenakan, pada panjang gelombang SWIR, nilai reflektan akan lebih rendah pada kawasan tanah yang lebih basah karena genangan pasang surut yang merupakan daerah tempat hidup vegetasi mangrove. Perbedaan reflektan terlihat pada kanal 5, dimana pada aerah mangrove memiliki nilai yang lebih rendah dibanding dengan daerah bervegetasi yang bukan mangrove, sementara reflektan di kanal 4 yang berhubungan dengan kandungan klorofil daun tidak banyak berbeda. Hal ini dikarenakan oleh efek pasang surut pada daerah intertidal yang menjadikan karakter jenis tanah yang khas yang mempengaruhi reflektran dari spektral komunitas tumbuh-tumbuhan
Indeks kerusakan mangrove tersebut diformulasikan sebagai :
IM = (NIR – SWIR / NIR x SWIR) x 10000.
Dimana IM adalah indeks mangrove yang diusulkan, NIR adalah kanal sinar inframerah dekat yaitu kanal 5 pada sensor LDCM dan SWIR adalah kanal inframerah pendek yaitu kanal 6 pada sensor LDCM. Angka 10.000 merupakan faktor pengali agar nilai menjadi nilai indeks -1 (minus satu) sampai dengan 1 (satu) dan nilainya 10.000 karena data LDCM level 1T tersimpan dalam format 16 bit ( 0 - 65.535). Untuk aplikasi dengan data lain, bisa jadi faktor pengali akan berbeda, seperti Landsat 7 dengan 8 bit (0 -255).

Minggu, 24 Mei 2015

PENGELOLAAN PULAU KECIL



Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi.  Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat.

Dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil maka diperlukan suatu landasan yang kuat dan terpadu sebagai pedoman atau panduan bagi pemangku kepentingan dalam mengembangkan pulau-pulau kecil. Landasan tersebut haruslah merupakan  kebijakan dan strategi nasional, sehingga dapat diadopsi dan dilaksanakan baik oleh kalangan Pemerintah, masyarakat maupun swasta/dunia usaha. Landasan tersebut menjadi sangat strategis mengingat peraturan perundangan yang khusus tentang pengelolaan pulau-pulau kecil belum tersedia

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau (mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia

Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub-tropis berasosiasi dengan terumbu karang.  Dengan demikian di kawasan ini memiliki  spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain-lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.
Fungsi pulai pulau kecil:
1.       Fungsi Pertahanan dan Keamanan
Dari sudut pertahanan dan keamanan, pulau-pulau kecil terutama di perbatasan memiliki arti penting sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran orang dan barang misalnya di Sabang, Sebatik dan Batam yang juga rawan terhadap penyelundupan barang-barang ilegal, narkotika, senjata, dan obat-obatan terlarang.
2.       Ekonomi
Wilayah  pulau-pulau kecil memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan, pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang ramah lingkungan.
3.       Ekologi
Secara ekologis, ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif, dan sistem penunjang kehidupan lainnya

Permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil
1.       Belum Jelasnya Definisi Operasional Pulau-pulau Kecil
Definisi pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini masih mengacu pada definisi internasional yang pendekatannya pada negara benua, sehingga apabila diterapkan di Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan menjadi tidak operasional karena pulau-pulau di Indonesia luasannya sangat kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau yang berada di negara benua. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Apabila mengikuti definisi yang ada, maka pilihan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan pulau-pulau kecil sangat terbatas, yang tentu saja akan mengakibatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi lambat
2.       Kurangnya Data dan Informasi tentang Pulau-pulau Kecil
Data dan Informasi tentang pulau-pulau kecil di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai contoh, pulau-pulau kecil di Indonesia masih banyak yang belum bernama, hal ini menjadi masalah tersendiri dalam kegiatan identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil.  Lebih jauh lagi akan menghambat pada proses perencanaan dan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia
3.       Kurangnya Keberpihakan Pemerintah terhadap Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Orientasi pembangunan pada masa lalu lebih difokuskan pada wilayah daratan (mainland) dan belum diarahkan ke wilayah laut dan pulau-pulau kecil. Masih rendahnya kesadaran, komitmen dan political will dari Pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil inilah yang menjadi hambatan utama dalam pengelolaan potensi pulau-pulau kecil.
4.       Pertahanan dan Keamanan
Pulau-kecil di perbatasan masih menyisakan permasalahan di bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum terselesaikannya permasalahan penetapan sebagian perbatasan maritim dengan negara tetangga, banyaknya pulau-pulau perbatasan yang tidak berpenghuni, sangat terbatasnya sarana dan prasarana fisik serta rendahnya kesejahteraan masyarakat lokal
5.       Disparitas Perkembangan Sosial Ekonomi
Letak dan posisi geografis pulau-pulau kecil yang sedemikian rupa menyebabkan timbulnya disparitas perkembangan sosial ekonomi dan persebaran penduduk antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya
6.       Terbatasnya Sarana dan Prasarana Dasar
Pulau-pulau kecil sulit dijangkau oleh akses perhubungan karena letaknya yang terisolir dan jauh dari pulau induk. Terbatasnya sarana dan prasarana seperti jalan, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, pasar, listrik, media informasi dan komunikasi menyebabkan tingkat pendidikan (kualitas SDM), tingkat kesehatan, tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pulau-pulau kecil rendah.
7.       Konflik Kepentingan
Pengelolaan pulau-pulau kecil akan berdampak pada lingkungan, baik positif maupun negatif sehingga harus diupayakan agar dampak negatif dapat diminimalkan dengan mengikuti  pedoman-pedoman dan  peraturan-peraturan yang dibuat.
8.       Degradasi Lingkungan Hidup
Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dan tidak ramah lingkungan yang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, belum adanya kebijakan yang terintegrasi lintas sektor di pusat dan daerah serta rendahnya kesejahteraan masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan hidup